Sabtu, 28 Februari 2009

Tata Cara Mengemas Produk Pariwisata pada Daerah Tujuan Wisata

Tata Cara Mengemas Produk Pariwisata
pada Daerah Tujuan Wisata
Edwin Fiatiano
Program Studi D3 Pariwisata FISIP Universitas Airlangga, Surabaya
Abstract
Although various tourism objects and attractions offered in Indonesia, still overseas tour leaders
often complain about tourism objects and attractions because their packages have never
changed. As a result, the number of visiting foreign tourists based on the entrance decreased to
10.31%. To anticipate such predicament, government carried out massive promotion nationally
and internationally. The act of promoting will be effective when it is performed by the
accompaniment of well-prepared tourism objects. However, there are still problems regarding
the package system. One of the solutions that can be ta ken as a way out is giving more attention
to tourism product style, tourism facility packaging, and tourism service.
Keyword: tourism, product style, facility, destination, service
Sejak dipopulerkannya istilah pariwisata oleh Presiden Soekarno pada Musy awarah Nasional
Tourism kedua di Tretes Jawa Timur pada tanggal 12 -14 Juni 1958 (Musanef, 1996:9),
pemerintah semakin optimis bahwa pembangunan pariwisata dapat mendongkrak devisa Negara.
Tapi, dalam perjalanannya pendapatan dari sektor pariwisata tidak se mulus yang direncanakan.
Jumlah kunjungan wisa-tawan mancanegara dari tahun ke tahun semakin melorot walaupun
rupiah mengalami depresiasi yang meng -akibatkan biaya hidup di Indonesia semakin murah tetap
tidak dapat menarik wisatawan. Menurunnya kunjungan w isatawan mancanegara ke Indonesia
dapat dilihat di Tabel Statistik Kunjungan Wisman ke Indonesia Tahun 2005 ber -dasarkan pintu
masuk.
Berdasarkan tabel di atas terlihat turun -nya total jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke
Indonesia sekitar 10,31 % dan hanya tiga pintu masuk yang mene -rima kunjungan wisatawan
mancanegara di atas 1.000.000 orang. Kondisi ini menunjukkan bahwa pembangunan pariwisata
di Indonesia kurang menarik minat wisatawan mancanegara untuk datang berkunjung dan masih
terkonsen-trasi pada Daerah Tujuan Wisata (DTW) tertentu. Menyiasati masalah tersebut
pemerintah melakukan gebrakan dengan menggencarkan promosi -promosi wisata di dalam
maupun di luar negeri.
Sebenarnya, tindakan yang dilakukan oleh pemerintah sudah tepat bila dibarengi d engan
kesiapan Daerah Tujuan Wisata yang dipromosikannya. Sampai sekarang Daerah Tujuan Wisata
tertentu saja yang siap menerima kunjungan wisatawan. Se -hingga sebaik apapun bentuk promosi
yang dilakukan oleh pemerintah tidak akan membawa hasil yang signifi kan bila tidak dibarengi
oleh pengemasan produk pariwisata di Daerah Tujuan Wisata. Faktor ini akan menimbulkan
kekecewaan wisa-tawan karena kenyataan di lapangan ber -beda dengan janji promosi yang
mereka lihat dan dengar.
Produk Pariwisata
Menurut Spillane (1994:14), kegiatan pariwisata dapat menjadi besar disebabkan tiga hal.
Pertama, penampilan yang eksotis dari pariwisata, kedua, adanya keinginan dan kebutuhan orang
modern yang disebut hiburan waktu senggang dan ketiga, memenuhi kepentingan politis p ihak
yang berkuasa dari Negara yang dijadikan daerah tujuan turisme. Dapat dikatakan bahwa
pariwisata adalah aktivitas yang dilibatkan oleh orang -orang yang melaku-kan perjalanan (Mill,
2000:21). Memang, sebagian besar aktivitas pariwisata berhubungan deng an mobilitas dengan
istilah pariwisatanya disebut tur yaitu suatu kegiatan perjalanan yang mempunyai ciri -ciri
tersendiri yang memberi warna wisata, bersifat santai, gembira, bahagia, dan untuk bersenang -
senang (Nuriata, 1992:11).
Berdasarkan aktivitasnya, penyelengga-raan pariwisata harus memenuhi tiga determinan yang
menjadi syarat mutlak. Pertama, harus ada komplementaritas an -tara motif wisata dan atraksi
wisata, kedua, komplementaritas antara kebutuhan wisa -tawan dan jasa pelayanan wisata, ketiga,
transferbilitas, artinya kemudahan untuk berpindah tempat atau bepergian dari tempat tinggal
wisatawan ke tempat atraksi wisata (Soekadijo, 1997:23).
Dipertegas oleh Witt dan Motinho (1994:29) yang menjelaskan sistem pariwisata
menunjukkan bahwa pariwisata be rada di dalam lingkungan fisik, teknologi, sosial, budaya,
ekonomi dan politik. Sistem ini melibatkan dua tipe area yaitu area yang menghasilkan dan area
yang menerima. Bagian dari area yang menghasilkan terdiri dari pelayanan tiket, tur operator, dan
agen perjalanan, ditambah dengan pemasaran dan kegiatan promosi dari persaingan ka -wasan
tujuan. Saluran tranportasi dan ko-munikasi yang menghubungkan bagian dari sistem pariwisata
melalui tranportasi udara, daratan dan air yang membawa turis ke/ dan/dari ada lah ketiga bagian
tersebut. Se-dangkan area penerima menyediakan fungsi akomodasi, catering, minuman, industri
hiburan, obyek dan atraksi wisata, tempat pembelanjaan dan pelayanan wisata. Atas penegasan
tersebut memper-jelas bahwa produk pariwisata melipu ti keseluruhan pelayanan yang diperoleh,
di-rasakan atau dinikmati wisatawan, semen -jak ia meninggalkan rumah dimana biasanya ia
tinggal, sampai ke daerah tuju-an wisata yang telah dipilihnya dan kembali ke rumahnya (Yoeti,
1996:172).
Ditambahkan oleh Baud-Bovy (Yoeti, 2002:128) bahwa produk pariwisata adalah sejumlah
fasilitas dan pelayanan yang di -sediakan dan diperuntukkan bagi wisata -wan yang terdiri dari tiga
komponen, yaitu sumber daya yang terdapat pada suatu Daerah Tujuan Wisata, fasilitas yang ter -
dapat di suatu Daerah Tujuan Wisata dan transportasi yang membawa dari tempat asalnya ke
suatu Daerah Tujuan Wisata tertenta. Bagaimana kalau seorang wisata -wan yang melakukan
perjalanan wisata secara individu dan membeli komponen paket wisata secara terp isah (tiket
dipesan sendiri, kamar hotel dicari pada waktu di kota yang dikunjungi, makan dipilih dimana
mereka suka, hiburan sesuai dengan event yang ada, obyek dan atraksi wisata dipilih setelah
sampai di Daerah Tujuan Wisata yang dikunjungi) yang mana d alam hal ini dapat disebut sebagai
produk industri pariwisata?
Dalam hal ini, Yoeti (2002:128) menje -laskan si wisatawan membeli ketengan secara terpisah
(buy separately) yang langsung membeli kepada unit -unit usaha yang termasuk dalam kelompok
industri pariwisata. Hal seperti ini tidak dapat di -katakan membeli produk industri pariwi -sata,
tetapi membeli produk Airline (tiket), Hotel (kamar), Restourant (food and beverages),
Entertainment (cultural performance), Tourist Attractions (natural and cultural resources).
Dari uraian tersebut, semakin jelas bah -wa produk industri wisata merupakan pro -duk
gabungan (composite product), cam-puran dari berbagai (as a amalgam of) obyek dan atraksi
wisata (tourist attractions), tranportasi (transportation), ako-modasi (accommodations) dan
hiburan (entertainment). Tiap komponen disuplai oleh masing -masing perusahaan atau unit
kelompok industri pariwisata. Kini semakin jelas, bila dilihat dari sisi wisatawan produk industri
pariwisata itu tidak lain adalah suatu pengalaman yang lengkap semenjak ia meninggalkan negara
asal dimana ia biasa tinggal berdiam, selama di Daerah Tujuan Wisata yang dikunjungi, hingga ia
kembali pulang ke tempat asalnya semula di mana ia biasa tinggal.
Berkaitan dengan produk pariwisata menurut Marri oti (dalam Yoeti, 1996:172-173) manfaat
dan kepuasan berwisata di -tentukan oleh dua faktor yang saling berkaitan, yaitu pertama, tourist
resources yaitu segala sesuatu yang terdapat di daerah tujuan wisata yang merupakan daya tarik
agar orang-orang mau datang berkunjung ke suatu tempat daerah tujuan wisata dan kedua, tourist
service yaitu semua fasilitas yang dapat digunakan dan aktifitas yang dapat dilakukan yang
pengadaannya disediakan oleh perusahaan lain secara komersial.
Wisatawan akan melakukan perjal anan wisata bila terdapat hubungan antara motif melakukan
wisata dengan daerah yang dituju. Sedangkan perjalanan wisata dapat dilakukan bila ada sarana
untuk mencapai tempat tersebut, seperti pesawat terbang, kereta api, kapal laut dan kereta. Sarana
ini tidak cukup memenuhi syarat bila di area yang menjadi Daerah Tujuan Wisata tidak
dilengkapi sarana untuk keperluan hidup wisatawan selama berwisata, seperti jasa makanan dan
minuman, akomodasi, hiburan, tempat perbelanjaan dan sarana tranportasi yang dapat
mengantarkan ke tempat-tempat wisata yang lainnya. Agar perjalanan wisata ke Daerah Tujuan
Wisata dapat terpuaskan, maka diperlukan pengemasan produk pariwisata yang sesuai dengan
kebutuhan dan keinginan wisatawan.
Mengemas Fasilitas
Langkah awal yang dianjurkan oleh Kotler, Bowen & Makens (2002:251) dalam mengemas
produk pariwisata adalah membagi pasar menjadi kelompok -kelompok pembeli khas yang
mungkin membutuhkan produk disebut dengan segmentasi pasar. Langkah selanjutnya adalah
membidik pasar dengan cara mengevaluasi daya tarik masing -masing segmen dan memilih satu
atau beberapa segmen pasar. Maksudnya, tindakan yang harus dilakukan setiap Daerah Tujuan
Wisata adalah mengemas produknya disesuaikan dengan keinginan dan kebutuhan wisatawan
mancanegara yang dibidiknya. Mendukung tindakan tersebut, Daerah Tujuan Wisata harus
mengembang-kan posisi bersaing produk pariwisatanya dengan Daerah Tujuan Wisata yang
lainnya yang disebut menetapkan posisi.
Banyak obyek dan atraksi wisata di Indonesia yang ditawarkan akan tetapi pada beberapa
tempat dikeluhkan oleh Tour Leader luar negeri karena tidak ada per -ubahan (Yoeti:1997:58).
Ini, perlu diper-hatikan, karena Tour Leader adalah perwa-kilan dari tur operator yang
mempromosi-kan dan membawa wisatawan datang ke Dae rah Tujuan Wisata. Bilamana obyek
yang dipromosikan terbatas pada atraksi yang terbatas, suatu saat dia akan meng -hentikan
promosi daerah tersebut kemudi -an memilih Daerah Tujuan Wisata lain.
Harus disadari bahwa wisatawan mela -kukan perjalanan wisata ke suatu Daerah Tujuan
Wisata tertentu adalah untuk men -cari pengalaman-pengalaman baru, mene-mukan sesuatu yang
aneh dan belum pernah disaksikannya. Wisatawan biasa -nya lebih menyukai sesuatu yang
berbeda (something different) dari apa yang pernah dilihat, d irasakan, dilakukan di negara di
mana biasanya ia tinggal. Yoeti (1997) menyarankan bahwa mengemas produk pariwisata harus
mempertahankan keaslian lingkungan karena selalu lebih menarik daripada yang dibuat -buat.
Oleh karena itu, menciptakan suatu lingkung an yang tidak asli (artificial) dari keadaan yang
sebenar-nya pasti tidak akan bertahan lama dan bagi promosi kepariwisataan jangka pan -jang
tidak menguntungkan bagi Indonesia. Bukan hanya keasliannya, tetapi keselu -ruhan pelayanan
yang diberikan kepada wi satawan hendaknya memiliki style yang beda dari yang lain tetapi tetap
memuaskan wisatawan. Style produk sangat diperlukan dalam mengemas Daerah Tujuan Wisata,
tujuannya ialah untuk memperbaharui dan menguasai pasar ( to re-new dan re-sell the market)
sehingga dapat menjamin penjualan. Dikatakan oleh Yoeti (1997:59) dalam kepariwisataan
product style yang baik, misalnya (1) obyek harus menarik untuk disaksikan maupun diperlajari,
(2) mempunyai kekhususan dan berbeda dari obyek yang lain, (3) prasarana menuju ke tempat
tersebut terpelihara dan baik, (4) tersedia fasilitas something to see, something to do dan
something to buy, (5) kalau perlu dilengkapi dengan sarana -sarana akomo-dasi dan hal lain yang
dianggap perlu.
Bilamana produk yang ditawarkan oleh berba gai produsen dianggap sama oleh wisatawan,
maka perbedaan yang meng-untungkan terletak pada product style yang dimiliki. Oleh sebab itu,
diperlukan suatu seni (art) untuk mengolah satu obyek wisata sedemikian rupa sehingga dengan
adanya obyek tersebut beserta segala fasilitas yang tersedia dapat menjadikan suatu Daerah
Tujuan Wisata yang menarik untuk dikunjungi. Mendukung mengemas product style sistem
pariwisata perlu diadakan survey obyek dan atraksi wisata yang potensial untuk ditawarkan.
Hadinoto (1996:69-70) menjelaskan bahwa survey diadakan untuk penggolongan obyek dan
atraksi wisata yang digolongkan, menjadi (1) penggolongan Jenis Kepariwisataaan berupa
destination tourism (untuk wisa-tawan yang tinggal lama), touring tourism (untuk
wisatawan yang tinggal se-bentar), (2) penggolongan atraksi berupa atraksi utama ( core
attraction), atraksi pendukung (supporting attraction), (3) penggolongan jenis atraksi terdiri dari
resource-based attraction, dan user-oriented attraction.
Pada penjelasan di atas yang dimaksud dengan touring tourism ialah atraksi, transportasi,
fasilitas pelayanan, dan pengarahan promosi yang digunakan di dalam tour ke beberapa lokasi
selama perjalanan akhir minggu atau libur. Atraksi terletak dekat rute perjalanan, di
persimpangan jalan, dan hanya dikunjungi satu kali oleh masing -masing kelompok pengunjung.
Aktivitas hampir pasif karena waktu hampir terbatas, sebab jadwal perjalanan tertentu.
Distribusi geografis adalah suatu sirkuit, bukan suatu titik. Sedangkan destination tourism
adalah geografis suatu kelengkap -an sendiri. Semua aktivitas dilakukan di satu titik destinasi,
yang harus direncana-kan untuk kunjungan berulang (Hadinoto, 1996:29 -30). Mengemas obyek
dan atraksi wisata sesuai bentuk touring tourism bertujuan untuk memenuhi kebutuhan wisatawan
yang tinggal sebentar, sebalik-nya untuk wisatawan yang hendak tinggal lebih lama dikemas
dalam bentuk destination tourism. Mengemas obyek wisata candi Borobudur, candi Prambanan
dan Monjali di Jawa Tengah merupakan bagian dari konsep touring karena obyek tersebut tidak
didukung oleh sarana yang dapat menahan lama wisatawan. Sedangkan pengemasan berdasarkan
konsep destination tourism dapat diperhatikan pada obyek wisata Pantai Kuta di Bali, Gunung
Bromo di Jawa Timur, dan Pantai Senggi gi di Nusa Tenggara Barat. Kawasan ini dipenuhi oleh
fasilitas-fasilitas yang menahan wisatawan seperti hotel, restoran, tempat hiburan dan sejenisnya.
Disamping itu, perlu pula diperhatikan dalam penataan obyek wisata dan atraksi wisata yang
menarik. Tindakan yang harus dilakukan adalah menetapkan obyek dan atraksi wisata sebagai
obyek wisata inti (core attraction) dan pendukungnya (supporting attraction). Contoh penataan
ini dapat dipelajari pada Daerah Tujuan Wisata di Bali di mana inti atraksinya adalah Danau
Kintamani dengan pendukungnya adalah kesenian tari Barong, kerajinan perak, pasar Sukowati,
pemandian tirta empul dan sejenisnya. Jarak antara obyek inti dan pendukungnya dekat sehingga
dapat dikunjungi kurang dari satu hari dan rutenya dirancang be rbentuk lingkaran (cycle)
sehingga dapat kembali ke tempat keberangkatan semula.
Dalam menata obyek dan atraksi wisata penyelenggara di Daerah Tujuan Wisata lebih
mencermati jenis atraksinya yang mampu mendatangkan wisatawan jarak jauh/luar negeri, atraksi
jenis ini misalnya Candi Borobudur, Danau Toba, Gunung Bromo dan sejenisnya. Perlu
digolongkan pula obyek dan atraksi wisata yang mampu menarik orang lokal berekreasi,
misalnya air terjun Sedudo, Kolam Renang Selecta dan lain -lain. Penggolongan atraksi pertama
yang disebut dengan resource-based attraction sedangkan penggolongan kedua disebut sebagai
user-oriented attraction.
Selain obyek dan atraksi wisata, sarana akomodasi harus direncanakan secara matang dalam
mengembangkan dan menetapkan lokasinya. Sar ana akomodasi berperan sangat penting dalam
pariwisata sebab wisatawan yang meninggalkan tempat tinggalnya memerlukan sarana
penginapan di Daerah Tujuan Wisata yang mereka kunjungi. Perencanaan pengem -bangan sarana
akomodasi yang dikerjakan secara sembaran gan akan berdampak pada lama tinggal ( length of
stay) wisatawan di Daerah Tujuan Wisata, maka dalam mengembangkan sarana akomodasi yang
baik harus memenuhi persyaratan fasilitas, pelayanan, tarif dan lokasi (Soekadijo, 1997:95).
Syarat-syarat fasilitas akomodasi yang terpenting, yaitu pertama, bentuk fasilitas akomodasi
harus dapat dikenal (recognizable), misalnya fasilitas mandi di dalam hotel yang paling baik
dalam kepariwisata-an ialah bak mandi rendam ( bathtub). Kedua, semua fasilitas-fasilitas di
dalam hotel harus berfungsi dengan baik. Ketiga, penempatan fasilitas yang terdapat di dalam
hotel harus dapat dilihat oleh wisatawan sehingga mempermudah wisatawan untuk
mempergunakan; Keempat, fasilitas -fasilitas yang digunakan di dalam hotel ha -rus memiliki
kualitas yang baik atau bermutu.
Sedangkan syarat pelayanan wajib memperhatikan tentang unsur aktornya terutama mengenai
kegiatan aktornya, apa yang dikerjakan dalam memberikan pelayanan. Pelayanannya harus dapat
di-andalkan dan kemudahan untuk dihubungi serta selalu siap membantu kesulitan wisatawan.
Demikan pula kualitas pelayanannya harus bermutu, artinya pelayanan yang dikerjakan oleh aktor
tersebut harus bebas dari kesalahan.
Agar hotel dapat memberikan jasa dengan baik, disamping fasilitas dan pela -yanannya faktor
menetapkan tarif tidak boleh diabaikan. Tarif akomodasi dalam pariwisata tidak berdiri sendiri,
akan tetapi merupakan komponen dari biaya perjalan -an seluruhnya yang harus dikeluarkan oleh
wisatawan. Penetapan tarif akomodasi harus rencanaka n dengan cermat karena merupakan salah
satu bahan pertimbangan wisatawan untuk berwisata ke suatu Daerah Tujuan Wisata.
Disamping persyaratan-persyaratan yang telah dijelaskan di atas, pembangunan dan
pengembangan sarana akomodasi harus memperhatikan masa lah lingkungan. Persyaratan
lingkungan hotel menuntut bahwa citra hotel dengan citra lingkungan itu harus saling sesuai,
artinya menetapkan lokasi pengembangan dan pembangunan sarana akomodasi harus dapat
mengangkat citra lingkungannya di mana hotel terse but berdiri. Jangan sampai berdirinya suatu
hotel berakibat timbulnya ekses -ekses dan citra negatif di lingkungan masyarakat.
Dalam merencanakan kawasan sarana akomodasi wisata patut mempertimbang -kan juga
syarat sentralitas akomodasi, maksudnya lokasi sa rana akomodasi diusahakan berada di tengah -
tengah atau berdekatan dengan tempat atraksi wisata. Jauh dan dekat di sini harus diartikan ber -
dasarkan kenyamanan, waktu dan biaya untuk mencapainya. Meskipun jaraknya jauh, kalau dapat
dicapai dalam waktu singkat dan nyaman dengan biaya murah, jarak itu adalah dekat. Sebaliknya,
jarak yang dekat menjadi jauh kalau untuk mencapainya diperlukan waktu yang lama dan
perjalanan yang tidak enak dan dengan biaya mahal. Persyaratan sentralitas perlu
dipertimbangkan karena berhubungan dengan aktivitas wisatawan yang sebagaian besar
waktunya untuk mengunjungi obyek dan atraksi wisata. Bila jarak antara atraksi wisata dengan
akomodasi berjauhan me-nyebabkan wisatawan mengalami kelelah -an akibatnya wisatawan tidak
betah tinggal lama di Daerah Tujuan Wisata tersebut. Apabila persyaratan sentralitas itu
menghubungkan sarana akomodasi dengan atraksi wisata, maka sarana itu juga di -tuntut
memenuhi syarat untuk mudah di -temukan dan mudah dicapai. Lokasi yang amat tepat adalah
dekat terminal-terminal angkutan, bandar udara, stasiun kereta api dan pelabuhan. Sedangkan
lokasi lainnya dapat berada di sepanjang jalan raya atau jalan poros kota. Akomodasi yang
terletak di sepanjang jalan-jalan itu dengan sendirinya akan dilalui wisatawa n.
Mengemas obyek dan atraksi wisata dan sarana akomodasi yang baik belum cu -kup untuk
mendatangkan wisatawan ke Daerah Tujuan Wisata bila tanpa adanya kemudahan aksesbilitas
menuju ke atraksi wisata. Sarana untuk mempermudah akses dan mobilitas wisatawan dapat
dipenuhi dengan menyediakan sarana tranportasi baik melalui darat, udara dan laut. Dalam
mengemas sarana transportasi yang baik perlu direncanakan di mana jasa kendaraan angkutan itu
dapat diperoleh. Sebaiknya, jasa angkutan itu diselenggarakan anta ra tempat pemberangkatan
(point of departure) dan tempat tujuan (point of arrival). Agar memiliki nilai tambah di mata
wisatawan, transportasi di Daerah Tujuan Wisata harus memiliki fasilitas yang berkualitas,
pelayanan yang sempurna dan keramah tamahan. Mengemas ketiga hal yang telah dijelaskan di
atas kurang leng-kap bila tidak tersedia jasa pendukung lain, seperti restoran, bengkel, SPBU,
katering, tempat hiburan dan sejenisnya. Sebagai contoh, jika jalan dan kendaraan menuju ke
obyek dan atraksi wisata sudah bagus, orang masih akan berpikir apakah ia berani mengadakan
perjalanan. Soalnya, ditengah perjalanan pengendara memerlukan makan, kendaraan bermotor
memerlukan bahan bakar, kalau ada kerusakan mesin memerlukan bengkel. Tanpa jasa -jasa
pendukung kegiatan pariwisata tidak akan bisa beroperasional secara konsisten
Penyempurna pengemasan, patut diperhatikan penataan lima jenis komponen Daerah Tujuan
Wisata oleh Hadinoto (1996:36), berupa (1) gateway atau pintu masuk, pintu gerbang berupa
bandar udara, pelabuhan laut, stasiun kereta api, dan terminal bis, (2) tourist centre atau pusat pengembangan
pariwisata (PPP), yang dapat berupa suatu kawasan wisata ( resort) atau bagian kota
yang ada, (3) attraction atau atraksi kelompok satu atau lebih, (4) tourist corridor atau pintu
masuk wisata, yang menghubungkan gateway dengan tourist centre, dan dari tourist centre ke
attraction, (5) hinterland atau tanah yang tidak digunakan untuk 4 komponen tersebut.
Wisatawan lazimnya datang lewat gateway, kemudian menuju ke PPP dimana ia menemukan
akomodasi dan semua usaha jasa pelayanan pendukung wisata, seperti restoran, toko cinderamata,
biro perjalanan wisata, persewaan kendaraan, dan lain -lain. Dari PPP ia mengadakan perjalanan
wisata ke atraksi wisata, melewati korido r wisata. Sambil berjalan di koridor wisata, ia menikmati
pemandangan indah dan kehidupan rakyat (desa, pengolahan tegal, dan sawah) yang disebut
sebagai hinterland. Hinterland ini perlu tetap menarik, dan tidak diubah menjadi bangunan tinggi,
pabrik dan sebagainya. Penetapan lokasi sebagai pusat pengembangan pariwisata (PPP) wajib
memperhatikan sarana akomodasi, tempat hiburan, toko cindera -mata, jarak menuju ke atraksi
wisata tidak boleh terlalu jauh, dan armada transportasi perlu dibenahi dalam segi kuan titas, kualitas
dan pelayanan karena sarana ini yang mengantarkan wisatawan ke obyek dan atraksi wisata
yang hendak dikunjunginya.
Mengemas Pelayanan
Pengemasan fasilitas-fasilitas produk pariwisata yang baik tidak akan cukup menarik wisatawan
bila tidak diberi roh. Pelayanan adalah roh yang akan meng -gerakkan aktivitas pariwisata sebab
yang dibeli oleh wisatawan adalah pelayanan se -jak dia berangkat, datang ke Daerah Tu -juan
Wisata dan kembali lagi ke tempat asal. Menurut Sugiarto (1999:36) pelayan -an adalah tindakan
yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan orang lain (konsu -men, pelanggan, tamu, klien,
pasien, pe-numpang, dan lainnya) yang tingkat pemu -asnya hanya dapat dirasakan orang yang
sedang melayani maupun yang dilayani.
Berkaitan dengan memberikan pelayan-an yang perlu diperhatikan adalah tingkat kepuasan
wisatawan. Agar wisatawan ter -puaskan selama melakukan perjalanan wi -sata, maka jasa-jasa
pariwisata harus dapat menunjukkan kualitas jasanya. Terdapat dua faktor utama yang
mempengaruhi kualitas jasa, yaitu expected service dan perceived service. Apabila jasa yang
diteri-ma atau dirasakan sesuai dengan yang diha -rapkan, maka kualitas jasa dipersepsikan baik
dan memuaskan. Jika jasa yang diterima melampaui harapan pelanggan, maka kualitas jasa
dipersepsikan sebagai kualitas yang ideal. Sebaliknya jika jasa yang diterrma lebih rendah
daripada yang diharapkan, maka kualitas jasa dipersepsi -kan buruk. Dengan demikian baik
tidaknya kualitas jasa tergantung pada kemampuan penyedia jasa dalam memenuhi h arapan
wisatawan secara konsisten (Tjiptono, 2002:60).
Berkaitan dengan memperlihatkan kualitas jasa yang berperan sangat penting adalah contact
personnel atau orang-orang yang terlibat dalam pariwisata, seperti pegawai pemerintah daerah,
masyarakat dan industri jasa. Mereka inilah aktor uta -ma yang dapat memuaskan wisatawan. Se -
hingga upaya-upaya yang harus ditempuh untuk memuaskan wisatawan dengan cara setiap orang
yang terlibat melayani wisatawan harus memberikan pelayanan yang unggul ( service excellence),
seperti disarankan Elhaitammy (Tjiptono, 2002: 58) yaitu sikap atau cara karyawan dalam
melayani pelanggan secara memuaskan; berupa kecepatan, ketepatan, keramahan, dan
kenyamanan.
Keempat komponen tersebut merupa -kan satu kesatuan pelayanan yang terint e-grasi,
maksudnya pelayanan atau jasa menjadi tidak unggul bila ada komponen yang kurang. Untuk
mencapai tingkat unggul setiap orang harus memiliki ketram -pilan tertentu, di ataranya
berpenampilan baik dan rapi, bersikap ramah, memperli -hatkan gairah kerja dan sikap selalu siap
melayani, tenang dalam bekerja, tepat waktu, tidak tinggi hati karena merasa dibutuhkan,
menguasai pekerjaannya, mampu berkomunikasi dengan baik, bisa memahami bahasa isyarat
(gesture) wisa-tawan, dan memiliki kemampuan menang -ani keluhan wisatawan secara tepat.
Me-ngemas pelayanan yang unggul bukanlah pekerjaan mudah. Akan tetapi bila hal ter -sebut
dapat dilakukan, maka Daerah Tuju -an Wisata yang menyelenggarakan pariwi -sata akan dapat
meraih manfaat yang besar, terutama berupa kep uasan dan loyalitas wi-satawan yang besar.
Untuk mewujudkan hal tersebut, perlu didukung komponen pa -riwisata yang terlibat, seperti
pemerintah daerah, masyarakat, industri jasa. Wujud dukungan yang harus dilakukan oleh kom -
ponen pariwisata adalah bekerjas ama dan berkomitmen membangun pariwisata.
Komitmen dan Kerjasama
Industri pariwisata bukan suatu industri yang berdiri sendiri melainkan terdiri dari berbagai
komponen-komponen yang saling terkait. Penyelenggaraan sistem pariwisata dapat berjalan
dengan sempurna bila komponen-komponen tersebut melebur menjadi satu dan saling
mendukung satu dengan lainnya. Komponen -komponen kepariwisataan yang berperan dalam
penyelenggaraan sistem industri pariwisata secara garis besar terdiri dari tiga kompo -nen, yaitu,
pemerintah, jasa-jasa kepariwi-sataan dan masyarakat di sekitar obyek dan atraksi wisata.
Kewajiban pemerintah dae -rah adalah bersama-sama merencanakan, pembangunan,
pengorganisasian, pemeli -haraan dan pengawasan dengan pemerintah daerah lainnya dalam
segala sektor yang mendukung kegiatan pariwisata. Peme -rintah daerah berserta instansi -
instansinya, industri jasa dan masyarakat mempunyai kewajiban untuk duduk bareng bekerja
sama dengan pemerintah daerah lainnya dalam mengemas paket -paket wisata.
Tindakan itu patut dilakukan karena aktivitas pariwisata tidak dapat dilakukan hanya pada satu
area saja dan tersekat-sekat. Aktivitas pariwisata memerlukan ruang gerak dan waktu yang
fleksibel. Adanya kerjasama dan komitmen akan terbentuk kemitraan yang saling meng isi, maka
aktivitas berwisata yang memiliki mobilitas tanpa batas itu tidak akan meng -alami kendala karena
jalur-jalur yang menghubungkan antar atraksi wisata yang satu dengan yang lainnya sudah tertata,
ter-hubung dengan baik dan dari segi keaman -an dapat dikoordinasikan bersama. Kegiat -an
promosi dapat dilakukan bersama -sama antara pemerintah daerah dan swasta.
Demikian pula jika terdapat kekurangan -kekurangan baik sarana dan sumber daya manusia
yang kurang terampil pemerintah dapat membantu dalam bentuk fasilitator, bantuan dana maupun
pelatihan-pelatihan dan lain-lain. Sedangkan industri jasa harus memberikan pelayanan yang
unggul dalam differensiasi dan inovasi produk. Sebab, dengan memberikan pelayanan yang
excellent dibarengi dengan diferensiasi dan inovasi produk wisatawan tidak akan pernah bosan
untuk datang kembali. Mereka akan selalu menemukan hal baru di Daerah Tujuan Wisata.
Demikian pula masyarakat di sekitar obyek dan atraksi wisata harus ikut berpatisipasi yang
diwujudkan ke dalam tindakan memberikan perasaan aman yang berupa keramahan dan perasaan
yang tulus ketika menerima kedatangan wisatawan.
Disamping itu, masyarakat harus ikut terlibat dalam mengambil keputusan pem -bangunan
pariwisata, berpartisipasi bersama -sama pemerintah daerah dan jasa-jasa kepariwisataan
memelihara sarana-sarana yang terdapat di obyek dan atraksi wisata dan ikut andil mendukung
kegiatan pariwisata dalam bentuk berjualan produk khas daerah tersebut dengan tidak lupa
memperhatikan faktor higienis dan sanitasinya sert a pelayanannya.
Daftar Pustaka
Anonim, Pariwisata Jawa Timur dalam Angka (Surabaya: Dinas Pariwisata Propinsi Jawa Timur,
2005).
Hadinoto, Kusudianto, Perencanaan Pengembangan Destinasi Pariwi -sata (Jakarta: UI Press,
1996).
Kotler, Philip, & John Bowen, James Makens, Pemasaran Perhotelan dan Kepariwisataan I
(Jakarta: Pren-hallindo, 2002).
Mill, Robert Christie, The Tourism International Business (Jakarta: Raja Grafika Persada, 2000).
Musanef, Manajemen Usaha Pariwisata di Indonesia (Jakarta: Gunung Agung, 1996).
Nuriata, Tata, Perencanaan Perjalanan Wisata (Jakarta: Departemen Pendidik-an dan
Kebudayaan, 1992).
Soekadijo, Anatomi Pariwisata (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997).
Sugiarto, Endar, Psikologi Pelayanan da-lam Industri Jasa (Jakarta: Gremedia Pustaka Utama,
1999).
Spillane, James J., Pariwisata Indonesia, Siasat Ekonomi dan Rekayasa Kebudayaan
(Yogyakarta: Kanisius, 1994).
Tjiptono, Fandy, Manajemen Jasa (Yogyakarta: ANDI, 2002).
Witt, Stephen F, & Luiz Motinho, Tourism Marketing and Managemen Handbook (British:
Prentice Hall International, 1994).
Yoeti, Oka A., Pengantar Ilmu Pariwista (Bandung: Angkasa, 1996).
Yoeti, Oka A., Perencanaan dan Pengem-bangan Pariwisata (Jakarta: Pradnya Paramita, 1997).
Yoeti, Oka A., Perencanaan Strategis Pemasaran Daerah Tujuan Wisata (Jakarta: Pradnya
Paramita, 2002).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar